Rabu, 01 Oktober 2008

UNTUKMU GURUKU

Berbinar laksana pancar fajar

Tembaga mengufuk dibatas cakrawala.

Meresapkan hangat dipori hati

Kaulah guruku!

Laksana teratai ditelaga bening

Pancarkan aura nan menawan.

Meski mata enggan menatap.

Kusembahkan mahkota berlian.

Dibalut emas bermutu manikam.

Kau teramat mahal.

Membawa obor pelita.

Kau merangkaul hangat.

Membawaku mencapai mimpi.

Abadilah guruku.

(2 mei 2008).

DINAMIKA GURU

Katanya kau pahlawan.

Memberi bakti tak berharap balas.

Benarkah?

Sungguh besar jiwamu.

Baktimu berbalas pahala ilahi.

Catatan sang malaikat segera tertoreh.

Mengukirkan hitam diatas putih.

Memujamu sungguhlah pantas.

Noda keserakahan kadang gamang.

Merusak citramu nan kilau.

Hanya karena secuil diri.

Mengejar nama demi gengsi.

Tetaplah dalam alurmu.

Tunjukkan cintamu nan baktimu.

Engkaulah sang guru.

Pembawa berita yang terpendam

(2 mei 2008)

TRAGEDY 2007

Sepasang mata menatap sendu.

Sebentuk usang nan sesakkan dada.

Menelan pilu.

Menjumput haru nan membisu.

Langit bergolak marah.

Samudra berontak garang.

dengan lakon sang bumi.

Hanya derai basah.

Terlantun pilu doa-doa mati.

Jiwa-jiwa rapuh.

Akankah tangis terus bersuara.

SUJUD TAKSIMKU

Waktu tlah berlari.

Pergi tiada menoleh.

Sebentuk jarak membentang.

Gunung, darat, hamparan kini mengada.

Barulah rasa itu ada.

Kini rindu itu menyeruak.

Memilin dalam titik penyesalan.

Andai dulu tak pernah ada.

Kusujud dikakimu

Mencium ridhomu.

Berharap belaimu

Kutidur dalam kasihmu

Wahai bundaku.

SERIBU TANYA

Malam membisik lirih.

Dalam buai sepoi.

Menangislah rintik di teratak.

Senada jiwaku nan lara.

Seribu Tanya menyentak.

Tersibak dibalik tabir.

Kucari dikerontang jiwaku

Namun hanya kehampaan.

Mengapa savana hilang.

Berganti gurun nan tandus.

Mengapa samudra bergolak.

Laksana dewa nan murka.

Sambut pelitaku.

Peluk kepedihanku.

Lebur dalam bejana.

Diriku ingin terlahir lagi.

RUPA YANG LAIN

rupamu wibawah.

Langkahmu gagah.

Dalam balut seragam sang pengayom.

Percuma!

Teriak bathin yang perih.

Tak usah!

Gemuruh raga yang luka.

Tak sudi!

Beliak mimpi yang buyar.

Kaulah perampok itu.

Kaulah penjajah itu.

Kaulah pengganggu itu.

Dalam rupa sang pahlawan

KERESAHAN

Kuperhatikan laku sang bocah.

Bersama kumuh, bau dan lusuh.

Menyandang kemiskinan di pundak.

Hanya dibalut lembar kain lusuh.

Hatiku bertanya.

Dimana iba di hati para borjuis.

Dimana tangan para pemerhati.

Mengapa kerlingan itu meredup.

Telah menjauh semua.

Menyisa kedirian dan keakuan.

Tak ada lagi kepedulian.

Tak ada lagi cinta memanah.

Hanya bias yang kian meredup.

PANJI AMANAH

Angin kembali bersesir.

Menggoyang menyapa daun-daun.

Lembah, ngarai, bukit telah di jejak.

Membawa warta-warta upeti.

Resah jiwa kembali geliat.

Mengucap Tanya kepada sang guru.

Sampai kapan kerontang ini mencibir.

Masihkah mata menetes luka.

Sang diri kembali meringkuk.

Merapat mencari hangat tersisa.

Aku belum mampu.

Muncul kedepan para laskar.

Membawa panji-panji amanah.

MIMPI DUNIA BOLA.

Wahai insan-insan khalifah.

Saksikan gemulai ikan-ikan kecil.

Dengarkan kepak burung-burung langit.

Tangkap teriak penghuni-penghuni hutan.

Mereka bertasbih dalam suka.

Larut dalam kuntum ilahi.

Tiadalah pernah mengubah alur.

Tapi tanganmu!

Tapi lakumu!

Tapi egomu!

Merampas segalanya.

Merusak tiada sisa.

Hanya karena laku khalifahmu.

Sebagai makhluk nan serakah.

MIMPI

Malam tlah larut.

Ragaku membujur pasrah.

Jiwaku berlari pergi.

Menggema di alam mimpi.

Kutemui engkau dengan hasrat.

Kucumbu dirinya penuh cinta.

Tak ingin berpisah.

Meski fajar tlah bersua.

Biarkan malam tak beranjak.

Diriku damai di alam mimpiku.

Hanya cinta dan damba berkejar.

Tak ada realita.

Tak ada kepedihan.

Disini, jiwaku bisa tertawa.

(Irwan 5 januari 2008)

LAKU SANG JIWA

Rontak jiwaku resah.

Risau bersulam bayang-bayang.

Retak menjejak palang.

Memilah antara arah memisah.

Mestikah aksara terangkai.

Membawa pesan deritaku.

Menjelma gunda di hati bunda.

Karena jerit sang buah hati.

Entahlah.

Tangis itu kembali menggaung.

Memecah sunyi ditebing lembah.

Hanya pasrah.

Dalam peluk kasih sang mahadaya.

(irwan 9 januari 2008)

LAKU ANAK DESA

Fajar semburat.

Memerah di ufuk barat.

Membawa terang.

Mengusir pekat semalam.

Anak desa tersenyum.

Menyapa Ilahi dalam sujud.

Menyambut pagi.

Seiring kicau sang punai.

Caping menutup kepala.

Cangkul gagah di pundak.

Dalam derap langkah.

Menuju lumpur-lumpur sawah.

Kutebar benih.

Berharap benir padi kelak.

Bersiullah sekawan pipit

Mencuri harta sang pawang.

Laku anak desa.

Tetaplah simfoni.

Tanpa mimpi mengawang.

(irwan. 19 januari 2008)

IMPIAN ZAMRUT

Terentang tangan anak gembala.

Mengayuh fajar dalam semburat.

Menyelam senja nan bara.

Mencari sekeping syarat.

Daku lena dalam senyum.

Berharap duka melayang pergi.

Menyisa hangat meruam.

Indahlah sukma dalam harap mimpi.

Ketika mata merekah.

Berharap cahya menyeruak.

Bersimpuh gelap sesak.

Sujud berkelana jejak-jejak.

Sambut jemariku.

Peluk hasratku.

Cium citaku.

Aku ingin kembali hijau.

HARAPAN

Berdirilah di dermaga.

Dengarkan debur ombak.

Lihat buih-buih sesaat.

Cium aroma samudra.

Tatap biru langait.

Peluk harapan hijau hutan.

Senada permadani padang ilalang.

Menapak butir kuning sang bulir.

Singkirkan jelaga itu.

Jaga kami dari racun itu.

Biarkan generasimu abadi.

Karena dunia masihlah bersolek.

DULU

Sepoi angin selalu semilir.

Gemericik percik selalu simfoni.

Belai sang surya selalu hangat.

Tak ada badai yang marah.

Tak ada hujan menyepak kerontang.

Tak ada mendung menatap asa.

Tak ada getir menyapa hari-hari.

Dulu dan kini tlah memisah.

Sebentuk aral yang mengada.

Begitu beda terasa dalam kalbu.

Mengapa begini.

Tanda apakah ini.

Adakah murka kembali terpalu.

Ataukah hanya bayang-bayang waktu.

DIKALA HUJAN

Mega berarak lalu.

Sebentuk tabir di tungkup langit.

Membawa kelam mengusir biru.

Senyap dalam tangis hujan.

Ragaku basah.

Jiwaku pasrah.

Seakan maut tlah berhembus.

Melayang terbang dibatas tabir .

Seribu Tanya kembali terangkai.

Aksara memilin dalam untai kata.

Hanya kepasrahan.

Menanti doa yang terkabul.

DESA PETUAH

Kuuntai sebuah kata.

Nun jauh di punggung bawakaraeng.

Sunyi senyap dalam bising kicau pualam.

Senyap berbalut rimba nan kabut.

Negeri balassuka.

Sang negeri berseri.

Menjelma zamrut beruntai.

Sumringah menatap masa.

Kini melebur sebuah asa.

Dalam gurat jemari sang karya.

Bersiul nyaring.

Mendepa karunia yang menggenang.

DERMAGA SOEKARNO-HATTA

Telingahku menangkap debur ombak.

Kutatap riang camar-camar laut.

Kudekap kesunyian.

Kubawah lari ke a lam kesunyian.

Sirene berteriak lantang.

Penanda labobar merapat dermaga.

Diatas riak kunanti ragamu.

Semuanya buyar.

Semuanya bisu.

Semuanya palsu.

Tak ada trisula possaidon.

Tak ada petir zeus.

Aries tlah kalah.

Hanya dewa kematian.

(Irwan. 15 Januari 2008)

ASA SANG AWAM

Sebuah tragedi.

Merenggut asa sang awam.

Mengalirkan tangis pilu.

Hanya menatap pasrah.

Kapan keadilan ada.

Dimana pengadilan hakiki.

Tanpa buram nan lusuh.

Membayang dalam jelaga.

Doa tlah terlantun.

Harapan menghampar abadi.

Menanti sang hakim.

Dalam palu yang lantang.

Lahirlah asaku.