Rabu, 26 November 2008

TERIAK SANG PECUNDANG

Dengarkan bisikku. Seperti gemuruh pantai yang bergolak. Segarang panas memanggang savana. Sehitam megah menutup langit. Lihat sosok itu. Sosok yang gila angguk taksimku. Memburu senyum ketakutanku. Mengejak kepatuhan nan semu. Tak kudapati belai hangat. Tak ada tatap penuh kasih. Senyum itu hanyalah seringai. Ada sekat yang memisah. Diriku yang merunduk pasrah. Ketika dia mendongak pongah. Saya muak kemapanan. Saya muak penindasan. Kau pasung cita-citaku. Kau bunuh mimpiku. Saya tak mau. Saya tak percaya. Jiwa bebasku dikerangkeng kebiadaban. Dibangku perguruan. Ragaku mati sebelum ajal. (Makassar.25 November2008)

BENCIKU

kutahu angin bertiup bisu. Berlalu pergi menyisa desah. Menyapaku sesaat dalam sepoi. Menyisa hambar yang bermanik. Tak ada yang peduli. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang percaya. Bila kurona jiwa ini dalam rangkai kata. Mimpiku tlah retak. Cita-citaku tlah suram. Anganku tinggal jejak-jejak basi. Disana. Ditempat yang disanjung orang. Sakral oleh dupa-dupa ilmiah. Keramat penuh taksim. Sebagai langkah menjejak cita. Itu semua bohong. Itu mimpi. Disanalah asaku buyar. Mataku gelap karena silau. Ketika harapan dipupus. Masihkah itu sebuah kebenaran. (Makassar. 25 November 2008)

SURAT BUAT IBU

terangkai aksara-aksara usang. Sebagai espresi kekalutan. Kini senja ditelan asa. Inilah resah seorang anak. Ibu…….. Mimpiku tlah kulebur hilang. Harapanmu tlah kusibak bias. Diriku berontak. Diriku gila oleh amarah. Ragaku sepah ditinggal hasrat. Jiwaku mati ditelan kecewa. Anakmu tiada menitis harapan. Semuanya berlari. Pergi ditelan ego sang malaikat. (Makassar, 25 November 2008)

SEMANGAT YANG TERENGGUT

Matahari beredar. Muncul sebentuk fajar. Tenggelam di bayang-bayang senja. Dan esok akan kembali lagi. Tetapi….. Kalau semangat telah padam. Harapan dan cita telah layu. Hanya ketakpercayadirian yang melekat. Membuat kuyuh nan kelam. Masihkah ada berontak. Kepada siapa kumengadu. Pada siapa kumenuntut. Kembali kebisuan berteriak. Saya salah. Kupikir kau akan mengangkatku. Kau sematkan mahkota kebijakan. Kau poles ragaku menjadi berkilau. Namun tidak. Kau merusaknya. Laksana gerabah yang pecah. Pucuk-pucuk itu tlah kau bunuh. Menyisa ranting yang kerontang (Makassar. 25 November 2008)

Rabu, 05 November 2008

DULU

Dulu… Denting melodi begitu merdu. Gesekan dawai gitar lembut membelai. Desah angin kudengar sepoi. Alunan nada amatlah merona. Dulu…… Hangat matahari begitu nyaman. Belai cumbumu membekap gelora. Kerasakan lembut sutra melayu. Dulu…… Semuanya bias kuraih. Kala takdirku masihlah utuh. Namun kerapuhan membayang. Menyisa kerontang daun-daun mati. Dulu adalah kenangan yang menyisa. (makassar. 4-10-2008)

RAYU 2

Jangan merayuku. Pergi! Pergi dari sini. Mataku tlah sayu. Biarkan kutidur lelap. (makassar. 4-10-2008)

RAYU

Mata itu berkedip nakal. Bibir merah merejah pasrah. Bersama desah yang panas. Gejolakku berontak. Batinku retak Tidak! Dirumah cintaku menunggu!. (makassar. 4-10-2008)

SUARA HATI

Kutatap langit yang biasa biru. Disaat malam berkabut bisu. Bersama angin yang mendesah lirih. Sunyi dan senyap. Hatiku larut dalam arus deru. Dimana purnama yang kemarin sabit. Sudahkah lelah bintang bertebar. Mengapa megah berarak. Membawa kelam yang dingin menusuk. Gamang kembali menyeruak. Resah mendayu-dayu. Bimbang menggigit Tanya. Kembali diriku diam dalam gagu. (Makassar. 4-10-2008)