Jumat, 12 Desember 2008
BERHENTI BERKICAU
MEREKA
Senin, 08 Desember 2008
PENGAKUAN
HARAPAN SANG HAMBA
Rabu, 03 Desember 2008
SEMANGAT
ANGAKARA HIV
Rabu, 26 November 2008
TERIAK SANG PECUNDANG
BENCIKU
SURAT BUAT IBU
SEMANGAT YANG TERENGGUT
Rabu, 05 November 2008
DULU
RAYU 2
RAYU
SUARA HATI
Rabu, 01 Oktober 2008
UNTUKMU GURUKU
Berbinar laksana pancar fajar
Tembaga mengufuk dibatas cakrawala.
Meresapkan hangat dipori hati
Kaulah guruku!
Laksana teratai ditelaga bening
Pancarkan aura nan menawan.
Meski mata enggan menatap.
Kusembahkan mahkota berlian.
Dibalut emas bermutu manikam.
Kau teramat mahal.
Membawa obor pelita.
Kau merangkaul hangat.
Membawaku mencapai mimpi.
Abadilah guruku.
(2 mei 2008).
DINAMIKA GURU
Katanya kau pahlawan.
Memberi bakti tak berharap balas.
Benarkah?
Sungguh besar jiwamu.
Baktimu berbalas pahala ilahi.
Catatan sang malaikat segera tertoreh.
Mengukirkan hitam diatas putih.
Memujamu sungguhlah pantas.
Noda keserakahan kadang gamang.
Merusak citramu nan kilau.
Hanya karena secuil diri.
Mengejar nama demi gengsi.
Tetaplah dalam alurmu.
Tunjukkan cintamu nan baktimu.
Engkaulah sang guru.
Pembawa berita yang terpendam
(2 mei 2008)
TRAGEDY 2007
Sebentuk usang nan sesakkan dada.
Menelan pilu.
Menjumput haru nan membisu.
Langit bergolak marah.
Samudra berontak garang.
dengan lakon sang bumi.
Hanya derai basah.
Terlantun pilu doa-doa mati.
Jiwa-jiwa rapuh.
Akankah tangis terus bersuara.
SUJUD TAKSIMKU
Waktu tlah berlari.
Pergi tiada menoleh.
Sebentuk jarak membentang.
Gunung, darat, hamparan kini mengada.
Barulah rasa itu ada.
Kini rindu itu menyeruak.
Memilin dalam titik penyesalan.
Andai dulu tak pernah ada.
Kusujud dikakimu
Mencium ridhomu.
Berharap belaimu
Kutidur dalam kasihmu
Wahai bundaku.
SERIBU TANYA
Malam membisik lirih.
Dalam buai sepoi.
Menangislah rintik di teratak.
Senada jiwaku nan lara.
Seribu Tanya menyentak.
Tersibak dibalik tabir.
Kucari dikerontang jiwaku
Namun hanya kehampaan.
Mengapa savana hilang.
Berganti gurun nan tandus.
Mengapa samudra bergolak.
Laksana dewa nan murka.
Sambut pelitaku.
Peluk kepedihanku.
Lebur dalam bejana.
Diriku ingin terlahir lagi.
RUPA YANG LAIN
rupamu wibawah.
Langkahmu gagah.
Dalam balut seragam sang pengayom.
Percuma!
Teriak bathin yang perih.
Tak usah!
Gemuruh raga yang luka.
Tak sudi!
Beliak mimpi yang buyar.
Kaulah perampok itu.
Kaulah penjajah itu.
Kaulah pengganggu itu.
Dalam rupa sang pahlawan
KERESAHAN
Kuperhatikan laku sang bocah.
Bersama kumuh, bau dan lusuh.
Menyandang kemiskinan di pundak.
Hanya dibalut lembar kain lusuh.
Hatiku bertanya.
Dimana iba di hati para borjuis.
Dimana tangan para pemerhati.
Mengapa kerlingan itu meredup.
Telah menjauh semua.
Menyisa kedirian dan keakuan.
Tak ada lagi kepedulian.
Tak ada lagi cinta memanah.
Hanya bias yang kian meredup.PANJI AMANAH
Angin kembali bersesir.
Menggoyang menyapa daun-daun.
Lembah, ngarai, bukit telah di jejak.
Membawa warta-warta upeti.
Resah jiwa kembali geliat.
Mengucap Tanya kepada sang guru.
Sampai kapan kerontang ini mencibir.
Masihkah mata menetes luka.
Sang diri kembali meringkuk.
Merapat mencari hangat tersisa.
Aku belum mampu.
Muncul kedepan para laskar.
Membawa panji-panji amanah.
MIMPI DUNIA BOLA.
Wahai insan-insan khalifah.
Saksikan gemulai ikan-ikan kecil.
Dengarkan kepak burung-burung langit.
Tangkap teriak penghuni-penghuni hutan.
Mereka bertasbih dalam suka.
Larut dalam kuntum ilahi.
Tiadalah pernah mengubah alur.
Tapi tanganmu!
Tapi lakumu!
Tapi egomu!
Merampas segalanya.
Merusak tiada sisa.
Hanya karena laku khalifahmu.
Sebagai makhluk nan serakah.
MIMPI
Malam tlah larut.
Ragaku membujur pasrah.
Jiwaku berlari pergi.
Menggema di alam mimpi.
Kutemui engkau dengan hasrat.
Kucumbu dirinya penuh cinta.
Tak ingin berpisah.
Meski fajar tlah bersua.
Biarkan malam tak beranjak.
Diriku damai di alam mimpiku.
Hanya cinta dan damba berkejar.
Tak ada realita.
Tak ada kepedihan.
Disini, jiwaku bisa tertawa.
(Irwan 5 januari 2008)
LAKU SANG JIWA
Rontak jiwaku resah.
Risau bersulam bayang-bayang.
Retak menjejak palang.
Memilah antara arah memisah.
Mestikah aksara terangkai.
Membawa pesan deritaku.
Menjelma gunda di hati bunda.
Karena jerit sang buah hati.
Entahlah.
Tangis itu kembali menggaung.
Memecah sunyi ditebing lembah.
Hanya pasrah.
Dalam peluk kasih sang mahadaya.
(irwan 9 januari 2008)
LAKU ANAK DESA
Fajar semburat.
Memerah di ufuk barat.
Membawa terang.
Mengusir pekat semalam.
Anak desa tersenyum.
Menyapa Ilahi dalam sujud.
Menyambut pagi.
Seiring kicau sang punai.
Caping menutup kepala.
Cangkul gagah di pundak.
Dalam derap langkah.
Menuju lumpur-lumpur sawah.
Kutebar benih.
Berharap benir padi kelak.
Bersiullah sekawan pipit
Mencuri harta sang pawang.
Laku anak desa.
Tetaplah simfoni.
Tanpa mimpi mengawang.
(irwan. 19 januari 2008)
IMPIAN ZAMRUT
Terentang tangan anak gembala.
Mengayuh fajar dalam semburat.
Menyelam senja nan bara.
Mencari sekeping syarat.
Daku lena dalam senyum.
Berharap duka melayang pergi.
Menyisa hangat meruam.
Indahlah sukma dalam harap mimpi.
Ketika mata merekah.
Berharap cahya menyeruak.
Bersimpuh gelap sesak.
Sujud berkelana jejak-jejak.
Sambut jemariku.
Peluk hasratku.
Cium citaku.
Aku ingin kembali hijau.
HARAPAN
Berdirilah di dermaga.
Dengarkan debur ombak.
Lihat buih-buih sesaat.
Cium aroma samudra.
Tatap biru langait.
Peluk harapan hijau hutan.
Senada permadani padang ilalang.
Menapak butir kuning sang bulir.
Singkirkan jelaga itu.
Jaga kami dari racun itu.
Biarkan generasimu abadi.
Karena dunia masihlah bersolek.
DULU
Sepoi angin selalu semilir.
Gemericik percik selalu simfoni.
Belai sang surya selalu hangat.
Tak ada badai yang marah.
Tak ada hujan menyepak kerontang.
Tak ada mendung menatap asa.
Tak ada getir menyapa hari-hari.
Dulu dan kini tlah memisah.
Sebentuk aral yang mengada.
Begitu beda terasa dalam kalbu.
Mengapa begini.
Tanda apakah ini.
Adakah murka kembali terpalu.
Ataukah hanya bayang-bayang waktu.
DIKALA HUJAN
Sebentuk tabir di tungkup langit.
Membawa kelam mengusir biru.
Senyap dalam tangis hujan.
Ragaku basah.
Jiwaku pasrah.
Seakan maut tlah berhembus.
Melayang terbang dibatas tabir .
Seribu Tanya kembali terangkai.
Aksara memilin dalam untai kata.
Hanya kepasrahan.
Menanti doa yang terkabul.
DESA PETUAH
Kuuntai sebuah kata.
Nun jauh di punggung bawakaraeng.
Sunyi senyap dalam bising kicau pualam.
Senyap berbalut rimba nan kabut.
Negeri balassuka.
Sang negeri berseri.
Menjelma zamrut beruntai.
Sumringah menatap masa.
Kini melebur sebuah asa.
Dalam gurat jemari sang karya.
Bersiul nyaring.
Mendepa karunia yang menggenang.
DERMAGA SOEKARNO-HATTA
Telingahku menangkap debur ombak.
Kutatap riang camar-camar laut.
Kudekap kesunyian.
Kubawah lari ke a lam kesunyian.
Sirene berteriak lantang.
Penanda labobar merapat dermaga.
Diatas riak kunanti ragamu.
Semuanya buyar.
Semuanya bisu.
Semuanya palsu.
Tak ada trisula possaidon.
Tak ada petir zeus.
Aries tlah kalah.
Hanya dewa kematian.
(Irwan. 15 Januari 2008)
ASA SANG AWAM
Sebuah tragedi.
Merenggut asa sang awam.
Mengalirkan tangis pilu.
Hanya menatap pasrah.
Kapan keadilan ada.
Dimana pengadilan hakiki.
Tanpa buram nan lusuh.
Membayang dalam jelaga.
Doa tlah terlantun.
Harapan menghampar abadi.
Menanti sang hakim.
Dalam palu yang lantang.
Lahirlah asaku.
Senin, 25 Agustus 2008
TERIAK HATI
TERIAK HATI
Izinkan teriak ini menggema.
Mencabik bentang keangkuhan.
Yang sekian lama mengurungku.
Tersesat dalam labirin yang kau cipta.
Kadang mulut ini terkunci.
Hanya tatap mata resah yang berkata.
Berbicara dengan untai-untai aksara.
Tak terdengar oleh telingah yang tuli.
Inilah amarahku.
Inilah berontakku.
Inilah kedirianku.
Biarkan nafasku merdeka dalam gelora.
(makassar 7 Agustus 2008)
JELAGAH HITAM
Kurasakan jeritan di sekitarku.
Kala angin membelai jenuh.
Kala ilalang malas melambai.
Hanyalah guguran daun-daun mati yang membisik.
Retak-retak tanah menganga lelah.
Menanti tangisan tempayang langit.
Membasah kekeringan.
Yang dulu tiada pernah terbayangkan.
Menuntut keadilan yang lama terampas.
Lutut ini bergetar.
Lunglai dalam depah gelisah.
Sampai kapan hitam menjadi jelagah.
(Malino, 5 Agustus 2008)
Selasa, 15 Juli 2008
SUNGAI
wahai jiwa-jiwa yang berpendar.
urai waktumu.
buka panca indramu.
jalin hati dan egomu.
lihatlah alur sungai itu.
ceria menyapa batu dan tebing.
tak ada pilah dan pilih.
semuanya disapa dan dibasah.
beranjak dari hulu nan jauh.
menuju samudra nan luas.
itulah sungai yang tiada lelah.
tersenyum tanpa espresi yang berlebih
(jumat.11 juli 2008)
DAUN KERING
Selasa, 10 Juni 2008
Rabu, 04 Juni 2008
SEJARAH SANG BOCAH
BERONTAK
Jumat, 22 Februari 2008
PENGAKUAN
Kamis, 14 Februari 2008
NAFSU ANGKARA
Terhampar sawah dalam tembiring.
Melingkat bukit.
Membentang hijau nan zamrut.
Damai dalam kedamaian.
Angkara tergelitik.
Meraih bintang tenggelam.
Seribu langkah terlakon.
Bulir-bulir terengkuh.
Melimpah nan sekejap.
Meski tanah sakit.
Manusia angkuh nan durjana.
Merusak damai nan tertitah.
Berganti bencana menancap.
Tunggu karmamu.
(Makassar 8 Februari 2008)
BERBAGI DUKA
Lirik kumuhku dengan matamu.
Kan kubagi bau ini denganmu.
Bersama barisan lalat-lalat.
Teronggok sampah berjengkal-jengkal.
Menutup ruangku rakus.
Hanya keresahan kelabu.
Bagi duka ini.
Rasakan sesak ini.
Tak hanya sebatas busa-busa.
Diatas kursi empukmu.
Wahai panglima.
(Makassar, 8 Februari 2008)
Minggu, 10 Februari 2008
JERIT YANG TERLUKA
LAKU SANG JIWA
Sabtu, 09 Februari 2008
tiada yang berharap
tiada yang terharap
kuurai malam. kujalin pelangi nan merona. dihias hujan. aku menari lesu.
aku ingin berubah. aku ingin lelap. tanpa seribu kunang-kunang.