Jumat, 12 Desember 2008

BERHENTI BERKICAU

BERHENTI BERKICAU Pujangga… Berhentilah merangkai kata. Jangan lena dengan pelangi indahmu. Memuji meski hambar. Mereka butuh sentuhan. Mereka butuh kau rangkul. Mereka butuh punda untuk bersandar. Penyair. Berhentilah beretorika. Dengan seribu janji-janji bisu. Dengan seribu kepedulian palsu. Sekarang waktunya bakti. Kepedulian dan perhatian. Bukan sekedar basa-basi kata. Waktu kian redup. Cahaya kian gulita. Mereka bukan mayat. Yang hanya menanti liang lahat. Kau kubur dalam sekejap. Lalu lega kalian rasa. Pejabat. Luangkan sebongkah waktu Lirik susah mereka. Sambut jerit mereka. Seperti sebelum kau naik tahta. (diawal bulan desember diakhir tahun 2008)

MEREKA

Bangun. Bangkitlah jiwa-jiwa yang tidur. Lihat mereka. Hibur mereka. Rangkul mereka. Dia manusia. Hatinya terluka. Jiwanya tercabik. Semangat padam. Saya. Kalian. Kita Wujudkan pita peduli itu. Mata mereka adalah kita. Tangan mereka adalah kita. Sandaran mereka adalah kita. Mereka masih hidup. Mereka masih berjuang. Bersama cinta yang kita beri. Mereka lawan sang durjana. (Diawal bulan desember ditahun 2008)

Senin, 08 Desember 2008

PENGAKUAN

Betapa kaku lidah ini. Sekedar menguntai lafas-lafas Ilahi. Menyanjung makna sang pencipta. Diatas altas yang tertinggi. Ya Tuhan. Diriku hamba yang bodoh. Terbawa arus kekhilafan. Terlarung di samudra angkara. Karang bersama buai yang membius. Aku salah. Diriku bergelimang maksiat. Akankah air suci membasuh. Membuatku bersih laksana malaikat. Hanya doa-doa kering. Tiada lelah kulantunkan. Tiada bosan kuucapkan. Berharap ampunan sang pencipta.

HARAPAN SANG HAMBA

Malam. Dekap aku dalam simfoni senyap. Iringi detak resah hatiku. Saksikan tangis beku jiwa ini. Diatas sajadah sujud. Kulabuhkan hati yang gersang. Menatap kuasaMu ya ilahi. Berharap ampunan bersemi dan abadi. Hatiku bergelimang dosa. Ragaku kelam berselaput noda. Lumpur maksiat memercik buas. Menutup cahya Ilahi yang menujuku. Sambut ulurku ya Ilahi. Masihkah maafMu bisa kugapai. Adakah sejengkal cahya yang memerah. Untuk hambaMu yang dulu hilang. Bisa lepas dari perangkap labirin nafsu.

Rabu, 03 Desember 2008

SEMANGAT

Lihat kawan. Matahari mengintip dibalik celah. Membawa terang. Membawa hangat. Mengusir kebekuan yang lama menggelayut. Bangkitlah. Kobarkan semangat bajamu. Lawan ketakutanmu. Songsong waktu yang berharga. Sedetik adalah abadi. Buktikan. Umurmu bukanlah urutan bilangan. Terbatas oleh angka-angka ilusi. Kau abadi dalam bakti. Kau menang dalam semangat. Berjuanglah. Kobarkan bara semangat itu Sulut jiwa-jiwa yang kering. Bangkitkan nuranimu. Kemenangan telah mengufuk. (Makassar.2 desember 2008)

ANGAKARA HIV

Mata itu! Menatap nanar dalam kekosongan. Menghitung hari-hari berlalu. Berbalut duka. Dalam temaram angkara. Tubuh itu. Sepah ditinggal daging. Kering berbalut kulit rapuh. Berteman kasur nan lusuh. Penopang raga yang ambigu. Ah….. Mahkluk itu terus mengganyang. Tiada hati tiada asih. Memangsa raga yang kian lusuh. Kering. Usang. Lalu mati menanti sorak-sorak. Orang-orang awam yang ta peduli. (Makassar. 1 Desember 2008)

Rabu, 26 November 2008

TERIAK SANG PECUNDANG

Dengarkan bisikku. Seperti gemuruh pantai yang bergolak. Segarang panas memanggang savana. Sehitam megah menutup langit. Lihat sosok itu. Sosok yang gila angguk taksimku. Memburu senyum ketakutanku. Mengejak kepatuhan nan semu. Tak kudapati belai hangat. Tak ada tatap penuh kasih. Senyum itu hanyalah seringai. Ada sekat yang memisah. Diriku yang merunduk pasrah. Ketika dia mendongak pongah. Saya muak kemapanan. Saya muak penindasan. Kau pasung cita-citaku. Kau bunuh mimpiku. Saya tak mau. Saya tak percaya. Jiwa bebasku dikerangkeng kebiadaban. Dibangku perguruan. Ragaku mati sebelum ajal. (Makassar.25 November2008)

BENCIKU

kutahu angin bertiup bisu. Berlalu pergi menyisa desah. Menyapaku sesaat dalam sepoi. Menyisa hambar yang bermanik. Tak ada yang peduli. Tak ada yang mendengar. Tak ada yang percaya. Bila kurona jiwa ini dalam rangkai kata. Mimpiku tlah retak. Cita-citaku tlah suram. Anganku tinggal jejak-jejak basi. Disana. Ditempat yang disanjung orang. Sakral oleh dupa-dupa ilmiah. Keramat penuh taksim. Sebagai langkah menjejak cita. Itu semua bohong. Itu mimpi. Disanalah asaku buyar. Mataku gelap karena silau. Ketika harapan dipupus. Masihkah itu sebuah kebenaran. (Makassar. 25 November 2008)

SURAT BUAT IBU

terangkai aksara-aksara usang. Sebagai espresi kekalutan. Kini senja ditelan asa. Inilah resah seorang anak. Ibu…….. Mimpiku tlah kulebur hilang. Harapanmu tlah kusibak bias. Diriku berontak. Diriku gila oleh amarah. Ragaku sepah ditinggal hasrat. Jiwaku mati ditelan kecewa. Anakmu tiada menitis harapan. Semuanya berlari. Pergi ditelan ego sang malaikat. (Makassar, 25 November 2008)

SEMANGAT YANG TERENGGUT

Matahari beredar. Muncul sebentuk fajar. Tenggelam di bayang-bayang senja. Dan esok akan kembali lagi. Tetapi….. Kalau semangat telah padam. Harapan dan cita telah layu. Hanya ketakpercayadirian yang melekat. Membuat kuyuh nan kelam. Masihkah ada berontak. Kepada siapa kumengadu. Pada siapa kumenuntut. Kembali kebisuan berteriak. Saya salah. Kupikir kau akan mengangkatku. Kau sematkan mahkota kebijakan. Kau poles ragaku menjadi berkilau. Namun tidak. Kau merusaknya. Laksana gerabah yang pecah. Pucuk-pucuk itu tlah kau bunuh. Menyisa ranting yang kerontang (Makassar. 25 November 2008)

Rabu, 05 November 2008

DULU

Dulu… Denting melodi begitu merdu. Gesekan dawai gitar lembut membelai. Desah angin kudengar sepoi. Alunan nada amatlah merona. Dulu…… Hangat matahari begitu nyaman. Belai cumbumu membekap gelora. Kerasakan lembut sutra melayu. Dulu…… Semuanya bias kuraih. Kala takdirku masihlah utuh. Namun kerapuhan membayang. Menyisa kerontang daun-daun mati. Dulu adalah kenangan yang menyisa. (makassar. 4-10-2008)

RAYU 2

Jangan merayuku. Pergi! Pergi dari sini. Mataku tlah sayu. Biarkan kutidur lelap. (makassar. 4-10-2008)

RAYU

Mata itu berkedip nakal. Bibir merah merejah pasrah. Bersama desah yang panas. Gejolakku berontak. Batinku retak Tidak! Dirumah cintaku menunggu!. (makassar. 4-10-2008)

SUARA HATI

Kutatap langit yang biasa biru. Disaat malam berkabut bisu. Bersama angin yang mendesah lirih. Sunyi dan senyap. Hatiku larut dalam arus deru. Dimana purnama yang kemarin sabit. Sudahkah lelah bintang bertebar. Mengapa megah berarak. Membawa kelam yang dingin menusuk. Gamang kembali menyeruak. Resah mendayu-dayu. Bimbang menggigit Tanya. Kembali diriku diam dalam gagu. (Makassar. 4-10-2008)

Rabu, 01 Oktober 2008

UNTUKMU GURUKU

Berbinar laksana pancar fajar

Tembaga mengufuk dibatas cakrawala.

Meresapkan hangat dipori hati

Kaulah guruku!

Laksana teratai ditelaga bening

Pancarkan aura nan menawan.

Meski mata enggan menatap.

Kusembahkan mahkota berlian.

Dibalut emas bermutu manikam.

Kau teramat mahal.

Membawa obor pelita.

Kau merangkaul hangat.

Membawaku mencapai mimpi.

Abadilah guruku.

(2 mei 2008).

DINAMIKA GURU

Katanya kau pahlawan.

Memberi bakti tak berharap balas.

Benarkah?

Sungguh besar jiwamu.

Baktimu berbalas pahala ilahi.

Catatan sang malaikat segera tertoreh.

Mengukirkan hitam diatas putih.

Memujamu sungguhlah pantas.

Noda keserakahan kadang gamang.

Merusak citramu nan kilau.

Hanya karena secuil diri.

Mengejar nama demi gengsi.

Tetaplah dalam alurmu.

Tunjukkan cintamu nan baktimu.

Engkaulah sang guru.

Pembawa berita yang terpendam

(2 mei 2008)

TRAGEDY 2007

Sepasang mata menatap sendu.

Sebentuk usang nan sesakkan dada.

Menelan pilu.

Menjumput haru nan membisu.

Langit bergolak marah.

Samudra berontak garang.

dengan lakon sang bumi.

Hanya derai basah.

Terlantun pilu doa-doa mati.

Jiwa-jiwa rapuh.

Akankah tangis terus bersuara.

SUJUD TAKSIMKU

Waktu tlah berlari.

Pergi tiada menoleh.

Sebentuk jarak membentang.

Gunung, darat, hamparan kini mengada.

Barulah rasa itu ada.

Kini rindu itu menyeruak.

Memilin dalam titik penyesalan.

Andai dulu tak pernah ada.

Kusujud dikakimu

Mencium ridhomu.

Berharap belaimu

Kutidur dalam kasihmu

Wahai bundaku.

SERIBU TANYA

Malam membisik lirih.

Dalam buai sepoi.

Menangislah rintik di teratak.

Senada jiwaku nan lara.

Seribu Tanya menyentak.

Tersibak dibalik tabir.

Kucari dikerontang jiwaku

Namun hanya kehampaan.

Mengapa savana hilang.

Berganti gurun nan tandus.

Mengapa samudra bergolak.

Laksana dewa nan murka.

Sambut pelitaku.

Peluk kepedihanku.

Lebur dalam bejana.

Diriku ingin terlahir lagi.

RUPA YANG LAIN

rupamu wibawah.

Langkahmu gagah.

Dalam balut seragam sang pengayom.

Percuma!

Teriak bathin yang perih.

Tak usah!

Gemuruh raga yang luka.

Tak sudi!

Beliak mimpi yang buyar.

Kaulah perampok itu.

Kaulah penjajah itu.

Kaulah pengganggu itu.

Dalam rupa sang pahlawan

KERESAHAN

Kuperhatikan laku sang bocah.

Bersama kumuh, bau dan lusuh.

Menyandang kemiskinan di pundak.

Hanya dibalut lembar kain lusuh.

Hatiku bertanya.

Dimana iba di hati para borjuis.

Dimana tangan para pemerhati.

Mengapa kerlingan itu meredup.

Telah menjauh semua.

Menyisa kedirian dan keakuan.

Tak ada lagi kepedulian.

Tak ada lagi cinta memanah.

Hanya bias yang kian meredup.

PANJI AMANAH

Angin kembali bersesir.

Menggoyang menyapa daun-daun.

Lembah, ngarai, bukit telah di jejak.

Membawa warta-warta upeti.

Resah jiwa kembali geliat.

Mengucap Tanya kepada sang guru.

Sampai kapan kerontang ini mencibir.

Masihkah mata menetes luka.

Sang diri kembali meringkuk.

Merapat mencari hangat tersisa.

Aku belum mampu.

Muncul kedepan para laskar.

Membawa panji-panji amanah.

MIMPI DUNIA BOLA.

Wahai insan-insan khalifah.

Saksikan gemulai ikan-ikan kecil.

Dengarkan kepak burung-burung langit.

Tangkap teriak penghuni-penghuni hutan.

Mereka bertasbih dalam suka.

Larut dalam kuntum ilahi.

Tiadalah pernah mengubah alur.

Tapi tanganmu!

Tapi lakumu!

Tapi egomu!

Merampas segalanya.

Merusak tiada sisa.

Hanya karena laku khalifahmu.

Sebagai makhluk nan serakah.

MIMPI

Malam tlah larut.

Ragaku membujur pasrah.

Jiwaku berlari pergi.

Menggema di alam mimpi.

Kutemui engkau dengan hasrat.

Kucumbu dirinya penuh cinta.

Tak ingin berpisah.

Meski fajar tlah bersua.

Biarkan malam tak beranjak.

Diriku damai di alam mimpiku.

Hanya cinta dan damba berkejar.

Tak ada realita.

Tak ada kepedihan.

Disini, jiwaku bisa tertawa.

(Irwan 5 januari 2008)

LAKU SANG JIWA

Rontak jiwaku resah.

Risau bersulam bayang-bayang.

Retak menjejak palang.

Memilah antara arah memisah.

Mestikah aksara terangkai.

Membawa pesan deritaku.

Menjelma gunda di hati bunda.

Karena jerit sang buah hati.

Entahlah.

Tangis itu kembali menggaung.

Memecah sunyi ditebing lembah.

Hanya pasrah.

Dalam peluk kasih sang mahadaya.

(irwan 9 januari 2008)

LAKU ANAK DESA

Fajar semburat.

Memerah di ufuk barat.

Membawa terang.

Mengusir pekat semalam.

Anak desa tersenyum.

Menyapa Ilahi dalam sujud.

Menyambut pagi.

Seiring kicau sang punai.

Caping menutup kepala.

Cangkul gagah di pundak.

Dalam derap langkah.

Menuju lumpur-lumpur sawah.

Kutebar benih.

Berharap benir padi kelak.

Bersiullah sekawan pipit

Mencuri harta sang pawang.

Laku anak desa.

Tetaplah simfoni.

Tanpa mimpi mengawang.

(irwan. 19 januari 2008)

IMPIAN ZAMRUT

Terentang tangan anak gembala.

Mengayuh fajar dalam semburat.

Menyelam senja nan bara.

Mencari sekeping syarat.

Daku lena dalam senyum.

Berharap duka melayang pergi.

Menyisa hangat meruam.

Indahlah sukma dalam harap mimpi.

Ketika mata merekah.

Berharap cahya menyeruak.

Bersimpuh gelap sesak.

Sujud berkelana jejak-jejak.

Sambut jemariku.

Peluk hasratku.

Cium citaku.

Aku ingin kembali hijau.

HARAPAN

Berdirilah di dermaga.

Dengarkan debur ombak.

Lihat buih-buih sesaat.

Cium aroma samudra.

Tatap biru langait.

Peluk harapan hijau hutan.

Senada permadani padang ilalang.

Menapak butir kuning sang bulir.

Singkirkan jelaga itu.

Jaga kami dari racun itu.

Biarkan generasimu abadi.

Karena dunia masihlah bersolek.

DULU

Sepoi angin selalu semilir.

Gemericik percik selalu simfoni.

Belai sang surya selalu hangat.

Tak ada badai yang marah.

Tak ada hujan menyepak kerontang.

Tak ada mendung menatap asa.

Tak ada getir menyapa hari-hari.

Dulu dan kini tlah memisah.

Sebentuk aral yang mengada.

Begitu beda terasa dalam kalbu.

Mengapa begini.

Tanda apakah ini.

Adakah murka kembali terpalu.

Ataukah hanya bayang-bayang waktu.

DIKALA HUJAN

Mega berarak lalu.

Sebentuk tabir di tungkup langit.

Membawa kelam mengusir biru.

Senyap dalam tangis hujan.

Ragaku basah.

Jiwaku pasrah.

Seakan maut tlah berhembus.

Melayang terbang dibatas tabir .

Seribu Tanya kembali terangkai.

Aksara memilin dalam untai kata.

Hanya kepasrahan.

Menanti doa yang terkabul.

DESA PETUAH

Kuuntai sebuah kata.

Nun jauh di punggung bawakaraeng.

Sunyi senyap dalam bising kicau pualam.

Senyap berbalut rimba nan kabut.

Negeri balassuka.

Sang negeri berseri.

Menjelma zamrut beruntai.

Sumringah menatap masa.

Kini melebur sebuah asa.

Dalam gurat jemari sang karya.

Bersiul nyaring.

Mendepa karunia yang menggenang.

DERMAGA SOEKARNO-HATTA

Telingahku menangkap debur ombak.

Kutatap riang camar-camar laut.

Kudekap kesunyian.

Kubawah lari ke a lam kesunyian.

Sirene berteriak lantang.

Penanda labobar merapat dermaga.

Diatas riak kunanti ragamu.

Semuanya buyar.

Semuanya bisu.

Semuanya palsu.

Tak ada trisula possaidon.

Tak ada petir zeus.

Aries tlah kalah.

Hanya dewa kematian.

(Irwan. 15 Januari 2008)

ASA SANG AWAM

Sebuah tragedi.

Merenggut asa sang awam.

Mengalirkan tangis pilu.

Hanya menatap pasrah.

Kapan keadilan ada.

Dimana pengadilan hakiki.

Tanpa buram nan lusuh.

Membayang dalam jelaga.

Doa tlah terlantun.

Harapan menghampar abadi.

Menanti sang hakim.

Dalam palu yang lantang.

Lahirlah asaku.

Senin, 25 Agustus 2008

TERIAK HATI

TERIAK HATI

Izinkan teriak ini menggema.

Mencabik bentang keangkuhan.

Yang sekian lama mengurungku.

Tersesat dalam labirin yang kau cipta.

Kadang mulut ini terkunci.

Hanya tatap mata resah yang berkata.

Berbicara dengan untai-untai aksara.

Tak terdengar oleh telingah yang tuli.

Inilah amarahku.

Inilah berontakku.

Inilah kedirianku.

Biarkan nafasku merdeka dalam gelora.

(makassar 7 Agustus 2008)

JELAGAH HITAM

Kurasakan jeritan di sekitarku.

Kala angin membelai jenuh.

Kala ilalang malas melambai.

Hanyalah guguran daun-daun mati yang membisik.

Retak-retak tanah menganga lelah.

Menanti tangisan tempayang langit.

Membasah kekeringan.

Yang dulu tiada pernah terbayangkan.

Menuntut keadilan yang lama terampas.

Lutut ini bergetar.

Lunglai dalam depah gelisah.

Sampai kapan hitam menjadi jelagah.

(Malino, 5 Agustus 2008)

Selasa, 15 Juli 2008

SUNGAI

wahai jiwa-jiwa yang berpendar.

urai waktumu.

buka panca indramu.

jalin hati dan egomu.

lihatlah alur sungai itu.

ceria menyapa batu dan tebing.

tak ada pilah dan pilih.

semuanya disapa dan dibasah.

beranjak dari hulu nan jauh.

menuju samudra nan luas.

itulah sungai yang tiada lelah.

tersenyum tanpa espresi yang berlebih (jumat.11 juli 2008)

DAUN KERING

hanya ruas yang garang menyapa. mengurat di atas daun. tiada hijau hanya pucat. menanti umur menjelang pasti. semilir angin membelai. mengoyang pohon dan ranting. daun rentapun menari jatuh. lalu lepas terhempas tanah. begitulah alur-alur takdir. pagi pongah berbalut perkasa. senja lelah berkarat usur. hijau tinggallah kenangan. berganti kering penanda usai. (makassar. jumat: 11 juli 2008)

Selasa, 10 Juni 2008

JIWAKU YANG KERDIL Mataku tlah lelah menatap hasrat. Tanganku tlah lelah menguntai tasbih. Mulutku tlah beku merafal doa. Angankupun tumpul tergores mimpi-mimpi. Dimana pintaku.Dimana doaku.Dimana hasratku. Terhambat antara engkau dan aku. Tuhanku! Tak semua kupinta padaMu. Tak segala kulahap dariMu. Pintaku hanyalah sederhana. Tiada sebanding dengan milikMu. Berikan aku hidup!Berikan aku cinta. Berikan aku ridhoMu. Hanyalah itu, Tuhan!
pesona desa fajar memerah di ufuk timur. hangat penjuru di hamparan luas. berpantul indah di titik-titik embun. kabut menyelaput beranjak pergi. dinding riang menggema. menyambut butir padi emas. di hamparan sawah para penjasa. ramailah negeri dalam sumringah. akankah kedamaian berajut. tiada gamang dalam mimpi. empat penjuru datang menggoda. menukar damai dengan mimpi. demi ambisi yang galau. (10 juni 2008)
damai negeriku jauh negeriku bersemayam. mendekap sunyi dalam keheningan. hanya desah angin. berselimut hangat bola tembaga. cicit-cicit burung menyaksi. kedamaian itu biarlah abadi. jangan kacaukan dengan angkara. mesin-mesin angkuh meremuk. merusak hijau menjadi kelam. menyisa jerit para jiwa. damaikan negeriku. tidurlah dalam lelap nan damai. jangan kau usik. cukup remah melebur sepah. (10 juni 2008)

Rabu, 04 Juni 2008

SEJARAH SANG BOCAH

seorang bocah lampu merah. berdiri gamang dipersimpangan. sepi dalam bising lalu-lalang. matanya sayu nan lelah lunglai. serak suaranya melantunkan hasrat. nada-nada sengau yang memborok. hanya harap sekeping receh. dari kalian para punggawa. beginilah raut kotaku. terpuruk dalam genggam derita. disana sang raja lena di tahta. tak peduli jerit itu melengking. (pondok malino. 4 juni 2008)

BERONTAK

aku lelah hanya menunduk. jiwaku jenuh dalam tengadah. batinku berontak dicekam cemooh. lepaskan daku dari belenggu ini. singkirkan pasung dari kakiku. putuskan rantai dari tanganku. biarkan aku terbang meski tanpa sayap. biarkan aku berenang meski tanpa sirip. kujelajahi mayapada tak musti kaki. biarkan kugapai bintang yang gemerlap. (pondok malino jaya. 3 juni 2008)

Jumat, 22 Februari 2008

PENGAKUAN

maafkan kami tuhan. tangan ini mengotori tanahmu. kaki ini berpijak angkuh. lupa pada dirimu karena nafsu yang membelit. seribu sujud terlakon. berharap engkau mengampuni. dosa-dosa yang membintik. menoda hitam diatas putih. maafkan kami tuhan. deritamu telah terbaca. murkamu tlah terdengar. kami tlah tahu. engkau benar-benar marah. (pondok malino jaya. 8 februari 2008). 07: 38 am

Kamis, 14 Februari 2008

NAFSU ANGKARA

Terhampar sawah dalam tembiring.

Melingkat bukit.

Membentang hijau nan zamrut.

Damai dalam kedamaian.

Angkara tergelitik.

Meraih bintang tenggelam.

Seribu langkah terlakon.

Bulir-bulir terengkuh.

Melimpah nan sekejap.

Meski tanah sakit.

Ah kasihan

Manusia angkuh nan durjana.

Merusak damai nan tertitah.

Berganti bencana menancap.

Tunggu karmamu.

(Makassar 8 Februari 2008)

BERBAGI DUKA

Bingkai masamu.

Lirik kumuhku dengan matamu.

Kan kubagi bau ini denganmu.

Bersama barisan lalat-lalat.

Teronggok sampah berjengkal-jengkal.

Menutup ruangku rakus.

Hanya keresahan kelabu.

Bagi duka ini.

Rasakan sesak ini.

Tak hanya sebatas busa-busa.

Diatas kursi empukmu.

Wahai panglima.

(Makassar, 8 Februari 2008)

Minggu, 10 Februari 2008

JERIT YANG TERLUKA

ragaku terpaku. beralas sajadah sujud. kusibak tabir pemisah. mencari tuhan yang bersemayam.
mengapa aku begini. antara adam dan hawa. bukanlah sinta dan rama. ragaku bukanlah jiwaku. hanya abu-abu.
seribu tanya kembali basi. hanya caci yang mengada. kembalikan aku pada rahim ibu. biarkan aku yang memilih.

LAKU SANG JIWA

rontak jiwaku resah. risau bersulam bayang-bayang. retak menjejak palang. memilah antara aral memisah.
meskikah aksara terangkai. membawa pesan deritaku. menjelma gundah dihati bunda. karena jerit sang buah hati.
entahlah. tangis itu kembali menggaung. memecah sunyi ditebing lembah. hanya pasrah. dalam peluk kasih sang mahadaya.

Sabtu, 09 Februari 2008

tiada yang berharap

tiada yang terharap

kuurai malam. kujalin pelangi nan merona. dihias hujan. aku menari lesu.

semusim aku menengadah. berharap basah datang. tlah jenuh dengan kemarau. jiwaku rapuh nan lelah.

aku ingin berubah. aku ingin lelap. tanpa seribu kunang-kunang.

biarkan aku lari. menuju arah yang terlupa. karena tiada adalah angan yang kuharap

PENGAKUAN

maafkan kami tuhan. tangan ini mengotori tanahmu. kaki ini bepijak angkuh. lupa pada dirimu. karena nafsu yang membelit. seribu sujud terlaku. berharap engkau mengampuni. dosa-dosa yang membintik. menoda hitam diatas putih. maafkan kami tuhan. deritaku tlah terbaca. murkamu tlah terdengar. kami tlah tahu. engkau benar-benar marah.

Rabu, 23 Januari 2008

PUISI DALAM DUKA

Sesak dada mencari sebait kata. Menusuk harapan dalam rupa kelabu. Menghantui membuyar dalam harapan. Hasratku melayang dalam diam yang bergelora. Kusapa fajar menyingsing kala. Menatap silau dalam gelap malam. Menelingkuk dalam rengkuh waktu nan payah. Duhai dunia. kau nyata dalam hayal. Kutatap horison dalam tombak logika. Mencari harapan nun dimayapada. Menggelora membias dalam rupa tak pasti. Dukaku kini meretas dalam raga. Memantik amarah memadam waktu.

KAMPUSKU

Membusung dadaku, membangga disanubari. Meretas asa, dalam lautan orange. Kau,aku dan dia bergelak dalam kami. Membuncah dalam angan-angan tak pasti Anganku melayang menembus mega-mega hita Mangkara itu menerjang mencabik naluri. Membius, melena dalam kegalauan jiwa. Menyisa aral dan bimbang tiada akhir. Kemana rasa itu!! Menyisa kelam dalam rasa yang hampa. Menyedot kalbu dalam dosa-dosa lama. Kampusku, dimana kau kini

LEMBAH KENANGAN

Bersiul senja, menyapa fajar semburat. Menepis kabut, menyingkap beku semalam. Senandung sabda melengking dalam dada. Syukur hati pada Ilahi rabbi. Zamrut membentang menantang mata. Membius kalbu dalam dekap bahagia. Berkata dan berucap dalam bibir tersunging. Mengharap mayapada memeluk rindu. Pertiwiku. Menabur pesona dalam rupa yang tak nyata. Mengharap welas asih dalam doa-doa malam. Berbinar dalam tangkai rupa-rupa. Menebar cinta dalam sepoi karunia.

RACUN ANGKARA

Nikmat jarum neraka mencabik nadi. Menembus nafas dalam rona-rona kelam. Menggenggam nikmat janji-janji bisu. Kuterpaku membeliak dalam mimpi. Berikan padaku!puaskan geloraku. Biarkan aku terbang kemega mencari jatidiri. Karena aku mau mimpiku dalam abadi. Hembuskan nafas itu, sampai gairah redup. Kering ragaku, menyisa kulit dan belulang. Mata saga, bernafas tertatih-tatih. Berharap, surga abadi dalam genggaman. Dalam mimpi berselubung nyata.

GENGGAMAN HASRAT

Kepal alur cerita kelam. Meretas tabu dalam silsilah kebimbangan. Menatap kelam silau dipalung nafas. Membetot harapan dalam tabir-tabir malam. Semerbak, wangi sapta pesona. Menembus relung membisik manja. Dalam satu kata membuncah semedi. Membangkit tidur dalam dekap mimpi semalam. Teriaku!!amarahku dan benciku!! Mengalir membaur senyap gemerlap. Membius dalam pantul cermin jiwa. Berharap kata dan ucap memilin.

DITEPI SENJA

Bergulir bola waktu, membawa deru Memancar gersang, menanti kelam meringkuk Mendupa, memahat waktu berkisah Ulir menyatu dalam hirup hawa. Menatap,mata kejoraku dimalam pekat. Membius hasrat dalam dekap beku. Mengikik dalam jerit malam nan sunyi. Resah jiwa membakar padam hasrat. Meretas kata dalamsenja. Meresap dalam pori menyentuh jiwa. Senyap, melena dalam ilusi masa lampau
KAU DAN AKU selaksa penyesalan,memantik nyata dalam rupa melena dan merayap dalam jarit tenun membias rupa dalam nampan tak pasti hasrat membaur dalam senyum hampaku kusempuh raga dalam belai sepoi malam mengukir kisah dalam nampan angkara menjejak menyisa tragis dalam sejarah membiru, meretas dalam dunia mayaku diriku,dalam lahir dan mati sekejap melena dalam mimpi-mimpi terbang melayang dalam dekap nirwana diriku,dirimu dalam pantul senja bayang yang beku merana